Sebuah karya fiksi menghadapkan kita pada sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh dan permasalahannya. Namun, hal itu kurang lengkap tanpa adanya ruang lingkup, tempat, dan waktu sebagaimana layaknya manusia hidup di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, selain membutuhkan tokoh, plot, juga memerlukan latar.
Menurut Abrams latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara kongkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan di mana dan kapan.
Menurut Hudson, latar merupakan keseluruhan lingkungan cerita, termasuk adat-istiadat, kebiasaan, pandangan hidup tokoh, sedangkan Abrams menyatakan latar itu (dalam cerita maupun drama), adalah tempat terjadinya sesuatu peristiwa secara umum, waktu berlangsungnya suatu tindakan. Lebih terinci lagi pendapat Robert Stanton yang menyebutkan, bahwa latar dalam sebuah cerita, merupakan lingkungan tentang kejadian, dunia dekat tempat kejadian itu terjadi. Bagian-bagiannya merupakan latar belakang (background) yang bisa kelihatan, tetapi bisa juga faktor waktu, musim atau periode kesejarahan. Meskipun tidak dinyatakan sebagai bagian yang bersifat prinsipal untuk perwatakan, latar bisa menyatakan adanya manusia di dalam latar belakang tersebut. Kadang-kadang latar langsung menjadi bagian perwatakan, kadang-kadang menunjukkan tema. Dalam kebanyakan cerita, latar menimbulkan suasana emosional yang mengitari perwatakan. Tetapi Gene Montague dan Marjorie Henshaw tidak hanya menyebut latar berfungsi sebagai tokoh, namun juga menyetakan latar kadang-kadang sebagai faktor menentukan yang terkuat terhadap plot.
Pendapat Wellek dan Warren juga senada dengan pendapat-pendapat di atas, yang menyatakan bahwa latar berfungsi untuk mengekspresikan perwatakan dan kemauan; memiliki hubungan erat dengan alam dan manusia. (Nurgiyantoro, 1995:216)
Tahap awal sebuah karya fiksi pada umumnya berisikan penyituasian, yaitu pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Misalnya, pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, dan mungkin juga berhubungan dengan waktu dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita.
Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan demikian, merasa dipermudah untuk “mengoperasikan’ daya imajinasinya, disamping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasakan menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita. (Nurgiyantoro 1995:217)
Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan keadaan sosial.
Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya kejadian yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Tempat yang disebutkan dalam sebuah novel dapat dinyatakan dengan nama tempat tersebut maupun dengan menggunakan inisial. misalnya kota A, B, dll. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis penting untuk mengesankan bahwa seolah-olah hal yang diceritakan dalam karya fiksi itu benar-benar terjadi.
Latar waktu dalam sebuah karya fiksi menyangkut masalah “kapan” terjadinya peristiwa. Latar waktu dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Dalam karya fiksi lain, mungkin saja latar waktu tampak samar atau tidak ditunjukkan secara jelas. Hal itu dilakukan mungkin karena unsur waktu memang tidak penting untuk ditonjolkan dengan kaitan logika cerita.
Latar sosial dalam sebuah karya fiksi menyangkut hal-hal yang berhubngan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang diceritakan dalam karya fiksi tersebut. Kehidupan sosial tersebut dapat mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment