Penokohan merupakan unsur yang penting dalam sebuah karya naratif. Penokohan dalam sebuah karya sastra antara lain mempersoalkan siapa yang diceritakan, siapa yang melakukan sesuatu atau yang dikenai sesuatu, dan siapa pembuat konflik.
Kata tokoh mengacu orang atau pelaku cerita tersebut. Misalnya, siapa pelaku utama cerita itu?
Tokoh cerita (character), menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. (Nurgiyantoro, 1995:106)
Kata tokoh mempunyai makna yang lebih sempit dari penokohan.
Menurut Jones dalam Nurgiantoro (1995:166)
Istilah penokohan lebih luas pengertiannya dari pada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jika kita kembali ke pembagian dikhotomis bentuk dan isi, tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu adalah aspek isi, sedangkan teknik pewujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek: isi dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tak penting benar selama pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh-tokoh tersebut atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh-tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Dilihat dari peran dan tingkat pentingnya, tokoh dalam cerita ada yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga tokoh itu mendominasi sebuah cerita. Tokoh tersebut dinamakan tokoh utama. Sebaliknya, ada pula tokoh yang hanya dimunculkan sesekali saja. Itupun mungkin hanya dalam penceritaan yang pendek. Tokoh itu disebut tokoh tambahan.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh ada yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Tokoh itu dinamakan tokoh sederhana. Tokoh tersebut tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan kejutan bagi pembaca. Tokoh sederhana bersifat datar dan hanya mencerminkan satu watak. Watak itu mendapat penekanan dan terus menerus terlihat dalam fiksi tersebut.
Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan telah diformulakan itu. Dengan demikian, pembaca akan dengan mudah memahami watak dan tingkah laku tokoh sederhana. Ia mudah dikenal dan dipahami, lebih familier, sudah biasa, atau yang stereotip, memang dapat digolongkan sebagai tokoh tokoh yang sederhana (Kenny, dalam Nurgiyantoro 1995: 182)
Sebaliknya, tokoh yang diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, dan jati dirinya disebut tokoh bulat. Tokoh ini lebih sulit dipahami. Tingkah lakunya dapat memberikan hal-hal yang tak terduga dan mengejutkan.
Dilihat dari segi pelukisan, ada dua cara penggambaran tokoh, yaitu teknik analitik dan teknik dramatik. Teknik analitik adalah pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Pelukisan tokoh dengan teknik dramatik mirip dengan yang ditampilkan dalam drama yaitu dilakukan secara tidak langsung. Artinya, tokoh tersebut tidak dideskripsikan secara eksplisit sikap dan sifat serta tingkah lakunya. Tokoh tersebut dibiarkan untuk menunjukkan dirinya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukannya, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Dilihat dari fungsi penampilannya tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi-- yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero-- tokoh yang merupakan lpengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro, 1995:178)
Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut, beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun taklangsung, bersifat fisik ataupun batin. (Nurgiantoro: 1995: 178)
No comments:
Post a Comment